Sabtu, 24 Mei 2014

Tentang film di indonesia

Dalam beberapa tahun terakhir ini perlahan tapi pasti, nama Indonesia mulai terdengar di Hollywood.
Sebut saja Joe Taslim, mantan juara judo yang terpilih memerankan tokoh antagonis dalam  “Fast & Furious 6”, film aksi penuh adegan balap karya sutradara Justin Lin. Ada juga Iko Uwais, aktor Indonesia yang terkenal karena keahliannya bermain pencak silat, menyabet peran pendukung di “Man of Tai Chi”, film seni bela diri yang diproduksi bersama oleh Amerika Serikat dan Cina, besutan Keanu Reeves.
“Hollywood selalu mencari talenta baru di area [seni bela diri]; sangat sulit menemukan seseorang yang handal dalam seni bela diri yang juga merupakan aktor yang baik,” kata Christina Klein, pakar perfilman Asia kontemporer dari Boston College. “Dan jika seni bela diri Indonesia sedikit berbeda dibanding yang ditawarkan Cina, Jepang atau Thailand, maka itu lebih baik lagi.”
Sepuluh tahun terakhir, ekonomi Indonesia tumbuh pesat. Industri perfilman Indonesia pun turut mengalami kemajuan, meski masih tergolong kecil jika dibandingkan dengan raksasa Asia seperti Jepang, Korea Selatan dan Cina.
Sementara itu, keberhasilan Joe dan Iko menembus pasar Hollywood datang bersamaan dengan terpilihnya sejumlah kota di Indonesia sebagai lokasi shooting film kelas dunia guna memperluas raihan penonton mereka.
Mencuatnya nama Joe dan Iko di pasar film global tidak bisa terlepas dari “The Raid”. Karya Gareth Evans tersebut, sutradara kelahiran Wales yang juga merupakan tokoh di balik “Merantau”, menceritakan tentang pertarungan sekelompok penegak hukum melawan mafia obat-obatan terlarang. Tahun 2012, Sony Pictures memutuskan untuk membeli hak distribusi dan pembuatan ulang film tersebut di Amerika Serikat. Iko dan Joe merupakan karakter utama dalam film yang berhasil memenangkan penghargaan pada festival internasional di Dublin, Toronto dan Amsterdam.
Karya-karya Indonesia, seperti “Laskar Pelangi” dan “Sang Penari”, sudah sering menarik perhatian pecinta film global, namun kebanyakan hanya melalui festival film internasional. Jarang di antara mereka yang didistribusikan secara luas di bioskop-bioskop di Amerika.  Dengan biaya produksi $1,5 juta, “The Raid” dirilis di Amerika pada 23 Maret, 2012. Menurut Box Office Mojo, situs yang mengeluarkan laporan mengenai penjualan tiket film yang ditayangkan di bioskop Amerika, “The Raid” per Juli 2012 berhasil meraup $4,1 juta.
“Ini tentunya menunjukkan bahwa Indonesia memiliki apa yang diperlukan – talenta, kemampuan – untuk menghibur penonton di seluruh dunia,” kata Rangga Maya Barack-Evans, istri Evans dan produser eksekutif dari production house Merantau Films. Di tanah air, “The Raid” berhasil mengundang 1,8 juta penonton layar lebar, kata Maya, sebuah pencapaian yang memuaskan dalam skala domestik.
Berbicara tentang film Hollywood yang mengangkat Indonesia, maka tak bisa lepas dari “The Year of Living Dangerously”. Film yang dibintangi oleh Mel Gibson dan Sigourney Weaver tersebut menceritakan tentang hubungan sepasang kekasih yang terjadi di tengah kekacauan berdarah pada tahun 1965, yang berujung pada lengsernya kepemimpinan Sukarno. Film karya sutradara Peter Weir tersebut diproduksi di Australia dan Filipina.
Waktu sudah berubah, era Suharto sudah berakhir. Indonesia saat ini merupakan demokrasi ketiga terbesar di dunia, dan salah satu kisah sukses pertumbuhan ekonomi paling mengesankan beberapa tahun terakhir ini.
Meski masih jauh dari industri perfilman India Bollywood, industri perfilman Indonesia terus berkembang. Produksi film lokal beberapa tahun terakhir sudah mencapai antara 80-100 judul baru per tahun.
Indonesian juga semakin sering masuk radar Hollywood untuk lokasi shooting. Agustus lalu, Jakarta dipilih menjadi lokasi pengambilan gambar film terbaru sutradara veteran, Michael Mann. Film tersebut dibintangi oleh Chris Hemsworth (“Thor,” “Snow White and the Huntsman”) dan Viola Davis (“The Help,” “Traffic”).
Menurut Mann, awalnya ia tidak berencana syuting di Jakarta. Namun kunjungannya ke Jakarta dua tahun lalu untuk proyek film berbeda telah membuatnya berubah pikiran. Energi ibukota, semangat warga, dan arsitektur unik Jakarta yang tak seperti kota-kota modern lainnya berhasil memukaunya, ujarnya.
“Film ini sebenarnya tidak ditulis untuk Jakarta, namun setelah saya datang ke Jakarta, saya menulis ulang film ini agar dapat syuting di Jakarta. Saya cinta Jakarta, saya suka berada di sini,” ujar Mann saat sedang rehat dari syuting adegan perkelahian di salah satu lokasi terkenal di Jakarta.
Associated Press
Julia Roberts di Ubud, Bali, untuk shooting film “Eat, Pray, Love” pada tahun 2009.
Sejumlah karya Hollywood lainnya juga sempat mengambil gambar di Jakarta. Di antara lain, “The Philosophers”, “Alex Cross”, “Savages” dan, tentunya, drama berbasis novel “Eat Pray Love”, yang menceritakan tentang perjalanan seorang perempuan ke Italia, India dan Indonesia sebagai bentuk pencarian diri setelah mengalami kegagalan kisah cinta.
“Hollywood biasanya memindahkan produksi ke luar negeri karena biaya yang lebih rendah, karena bisa memberikan mereka akses terhada sumber daya tertentu — keuangan, lokasi shooting, atau aktor-aktor dengan karakter tertentu,” kata pakar fim Asia, Klein.
Menteri Pariwisata dan Industri Kreatif, Mari Elka Pangestu, mengungkap harapannya bahwa dijadikannya Indonesia sebagai lokasi shooting, mengacu pada film besutan Mann, bisa membuka pintu terhadap kedatangan lebih banyak pembuat film asing.
“Ini merupakan hal besar bagi kita. Semoga Mann dapat mempromosikan ke sutradara lain bahwa Indonesia adalah tempat yang bagus untuk mengambil gambar,”  ujarnya.
Sejumlah talenta lain juga mulai memancangkan namanya di dunia hiburan Amerika. September lalu, Agnes Monica merilis single internasional pertamanya, “Coke Bottle”. Pada lagu tersebut, ia berkolaborasi dengan dua bintang hip-hop Amerika, Timbaland dan T.I.
Sementara itu, perancang busana Tex Saverio, yang namanya meroket setelah karyanya dikenakan oleh Lady Gaga pada tahun 2011, telah mengumumkan bahwa salah satu rancangannya akan dipakai oleh Jennifer Lawrence, yang melakoni tokoh utama film “Hunger Games: Catching Fire”.
Bloomberg News
Menteri Pariwisata dan Industri Kreatif, Mari Elka Pangestu.
Kontribusi Indonesia untuk Hollywood masih jauh lebih kecil dibanding sejumlah negara Asia lainnya. Indonesia masih belum menghasilkan sutradara sekaliber John Woo atau aktor dengan prestasi setara Ken Watanabe, yang pernah mendapatkan nonimasi Piala Oscar. Masih belum ada film Indonesia yang setara, misalnya, dengan karya Hong Kong “Internal Affairs”, yang telah dijadikan versi Hollywood dengan judul “The Departed”.
Dalam hal kemampuan produksi dan pasca-produksi, Indonesia pun masih tertinggal dari Thailand dan Singapura.
Andre Surya pernah mengemban karir sebagai digital artist di Lucasfilm Singapore, sebuah divisi dari Lucasfilm. Pengalamannya mencakup mengerjakan blockbusterseperti “Iron Man”, “Star Trek” dan “Transformers: Revenge of the Fallen”. Andre saat ini memiliki perusahaan animasi dan pasca-produksi bernama Enspire Studio, yang berbasis di Jakarta.
Andre mengatakan Indonesia memiliki banyak talenta dalam hal animasi dan kemampuan pasca-produksi digital, namun mereka “masih menunggu seseorang yang berani untuk berinvestasi.”
Pemerintah Indonesia masih belum memberlakukan insentif pajak untuk dunia perfilman. Namun, Mari mengatakan pemerintah akan membantu sutradara internasional dengan mendirikan “lembaga perizinan khusus,” yang akan mengurus setiap izin yang dibutuhkan untuk mengambil gambar di Indonesia.
Categories:

0 ocehan:

Posting Komentar